Sabtu, 01 Maret 2008

ISLAM YANG TERLALU MODERN

ISLAM tak disebarkan lewat kekerasan. Sistem itulah yang oleh Robert N Bellah disebut sebagai sangat modern, mungkin terlalu modern untuk zamannya sehingga tidak bertahan cukup lama, namun tetap menjadi model masyarakat nasional yang adil, terbuka, egaliter, dan partisipatoris.
Menurut Bellah, masyarakat serupa itu belum pernah terbayangkan keteladanan bagi umat manusia saat ini dan sepanjang masa. Karena itu, suasana kejiwaan umat Islam adalah suasana perasaan terus-menerus disalahpahami, dipojokkan, dan direndahkan.
Tidak ada kesalahpahaman yang lebih menyakitkan hati umat Islam dari pandangan keliru seolah-olah mereka adalah penganut agama yang mengajarkan penyembahan kepada seorang manusia bernama Muhammad.
Selama lebih dari 14 abad mereka menambahkan umat Islam sebagai "Muhammadans" dan agamanya "Muhammadanisme". Kesadaraan akan kekeliruan yang fatal itu baru muncul sangat akhir ini saja, dan mulailah mereka belajar menyebut agama itu sebagai Islam, para pelakunya sebagai kaum muslim, sedangkan Muhammad hanyalah seorang nabi utusan Tuhan yang manusia biasa.
Umat Islam juga merasa dizalimi dengan tuduhan, mereka menyebarkan agama mereka dengan paksa. Padahal Islamlah yang dengan tegas, dalam kitab sucinya dan sunnah nabinya mengajarkan untuk tidak boleh ada paksaan dalam agama. Islamlah yang mula-mula dari semua agama yang mengajarkan tentang kewajiban mengakui dan melindungi agama-agama lain, suatu ajaran yang menurut Hanna Cassis merupakan perkembangan luar biasa dalam agama-agama manusia.
Adalah sejarawan Gibbon yang dengan lantang menuduh para pengikut Nabi Muhammad itu menyebarkan agama dengan paksa: pedang di tangan kanan, dan Quran di tangan kiri. Namun tidak kurang dari seorang orientalis Bernard Louis yang membantah Gibbon, bahwa tuduhan itu tidak benar, berlawanan dengan ajaran Islam, dan tidak terjadi dalam sejarah.
Dengan nada meledek, Bernard Louis mengatakan, gambaran Gibbon itu tidak mungkin terjadi pada kaum muslim: seorang muslim tidak akan membawa Alquran dengan tangan kiri, karena dianggap penghinaan.
Kata Louis, bila umat Islam berperang dengan Alquran di tangan kanan dan pedang di tangan kiri, itu berarti semua orang Islam kedhe (kidal). Jadi tidak mungkin Islam disebarkan dengan kekerasan dan paksaan. Hanya orang yang keras kepala dan mau benar sendiri saja yang selalu berusaha mengingkari adanya ajaran dan sejarah Islam yang sebenarnya itu.
Sebaliknya, seperti dikemukakan Thomas W Lippman, Islam menyebar luas karena keteladanan budi pekerti luhur para pemeluknya (Understanding Islam). Sejajar dengan ini, Firthjof Schuon menegaskan, "Every religion has a form and a substance. Islam spread through the world like lightening by virtue of it's substance, and it's expension was brought to halt by reason of it's from (dalam Islam and Perennial Philosophy).
Kekuatan Ajaran
Setiap keyakinan memiliki energi atau menjadi sumber energi. Islam tidak merupakan perkecualian. Ajaran "islam" adalah ajaran berserah diri kepada Tuhan sesuai dengan hakikat kesucian primordial manusia yang dengan sikap itu manusia memperoleh kedamaian (salam).
Mungkin karena kekuatan ajaran itu, Islam menjadi sumber tenaga berbagai gerakan pembebasan (futuhat) yang dahsyat, paling dahsyat dalam sejarah peradaban dunia.
Seperti dikatakan Huston Smith, "Submission (in Arabic, Islam) was the very name of the religion that surfaced through the Koran, yet it's entry into history occasioned the greatest political explosion the world has known... If mention of this fact automatically tringgers our fears of fanaticism, this simply shows us another defence our agnostic reflex has erected against the possibility of there being something that, better than we are in every respect, could infuse us with goodness as well as power were we open to the transfusion (dalam Beyond the Post-Modern Mind).
Dan menurut Hodgson, energi Islam tetap tersimpan dalam cadangan rasa tugasnya. Yet Islam as an explicity religious tradition continues vital almost everywhere. It is on this level that the heritage remains potent. Many aspects of the wider culture of which it was the nucleus cannot be disengaged from religion; they remain resources potentially accessible to all muslims, embedded in the languages of the great religious texts which serious muslims must read, and likely to become influential under the right circumstances. But it is in religious life inself, with all this can mean for human life generally, that Islam is a great force for the immediate future (dalam The Venture of Islam).
Karena pengertian yang keliru tentang hakikat sejarah pembebasan oleh Islam di masa lalu itu, agaknya timbul pula kekeliruan dalam memandang Islam sebagai agama yang keras, militan, dan menakutkan.
Namun perhatikan, perkataan Smith, "Jika semata-mata menyebutkan kenyataan (bahwa Islam melahirkan ledakan gerakan pembebasan) itu otomatis memicu ketakutan kita kepada fanatisme, hal ini semata-mata menunjukkan kepada kita suatu bentuk lain sikap mempertahankan diri yang oleh refleksi agnostik kita telah dibangun menghadapi kemungkinan adanya sesuatu yang karena lebih baik daripada diri sendiri dalam banyak segi, dapat mengisi dengan kebaikan dan kekuatan, kalau saja kita terbuka terhadap transfusi itu.
Sikap-sikap pembelaan diri karena takut kepada suatu hal yang lebih baik seperti digambarkan Smith inilah yang oleh sebagian orang Islam, mungkin melalui ekspresi kebahasan yang tidak selalu tepat disebut sebagai fobia Islam."
Karena sikap penuh fobia itu mewujudkan nyata dalam sikap curiga dan permusuhan, sehingga pada gilirannya memancing sikap perlawanan yang keras dan orang pun tergoda untuk meng-gebyah uyah sebagai terorisme. Terorisme adalah terorisme, suatu kejahatan kemanusiaan, siapa pun yang melakukannya. Namun perjuangan mempertahankan hak dan kehormatan adalah perjuangan, suatu kepahlawanan kemanusiaan, siapa pun yang melakukannya. Karena itu, tidak ada jalan dan cara sama sekali untuk membenarkan terorisme.
Akan tetapi semua pihak juga hendaknya memahami suatu bentuk pengorbanan yang sah, demi menegakkan keadilan, mempertahankan hak dan kehormatan. Pencampuradukan keduanya itu akan menjadi sumber bencana yang amat dahsyat dan berkepanjangan. Dan, sama seperti Dawud yang mengalahkan Jalut, Vietnam yang memaksa pulang Amerika Serikat, arek-arek Surabaya yang membuat tentara Sekutu akhirnya hengkang meninggalkan medan pertempuran, kemenangan atau keunggulan tidak berada di pihak yang kuat dan besar tetapi berada di pihak yang benar sekalipun lemah, tertindas, dan terzalimi.
Tidak adanya pengertian yang tepat tentang masalah itu semua akan menimbulkan keadaan yang semakin buruk, baik pada tingkat dunia maupun pada tingkat negara. Dan sepanjang mengenai Islam, tidak adanya pengertian yang tepat itu akan sangat memperburuk keadaan negara kita, mengingat sedemikian besar jumlah pemeluk Islam di sini, dan tingginya proporsi mereka terhadap keseluruhan penduduk.
Dan, bencana Kuta (Bali) serta kemanusiaan lain sungguh akan amat memperburuk keadaan negara, jika suatu teori konspirasi politik domestik terbukti benar. Teori konspirasi itu mengungkapkan, dan mulai terdengar meluas, bahwa bencana Kuta itu adalah rancangan pihak-pihak tertentu dari kalangan aspiran kekuasaan untuk menciptakan suasana kekacauan umum untuk sebagai alasan pembenaran tindakan mereka.
Benarkah teori itu? Na'udzu bi-Llah, God forbid, semoga Tuhan mencegah. Sebab bila benar, maka bencana Bali itu indikasi bahwa sesungguhnya krisis yang melanda bangsa dan negara kita adalah jauh, amat jauh, lebih buruk daripada yang kita sadari, daripada yang tampak sehari-hari.
Naluri kemanusiaan kita mengharapkan, janganlah hal itu terjadi. Semogalah semua itu tidak benar. Namun naluri kemanusiaan, dan naluri kebangsaan, mendorong untuk bertanya-tanya tentang nasib masa depan bangsa ini, dan apa yang kiranya dapat diperbuat. Beberapa isyarat sebenarnya telah terlemparkan kepada masyarakat umum, dan sudah pula menjadi wacana kalangan tertentu bangsa kita.
Yaitu kita harus mengakhiri tingkah laku tiap-tiap pribadi dari semua, sebagai warga negara yang akhir-akhir ini menunjukkan gejala non-comminal, sikap tidak terikat kepada kepentingan dan cita-cita bersama sebagai bangsa. Gejala sikap hidup tanpa cita-cita luhur, bahkan tanpa cita-cita sama sekali kecuali ambisi egoistis dan nafsu untung sendiri dengan menyalahgunakan kesempatan, kecakapan, kedudukan, dan kekuasaan hanya untuk menumpuk kekayaan.
Pembenaran
Manusia adalah makhluk yang memerlukan pembenaran bagi setiap tindakannya. Karena itu, masing-masing secara naluri selalu mencari pembenaran bagi tindakannya, kendati sesungguhnya lewat naluri kesucian, kita mengetahui bahwa tindakan itu tidak benar dan tidak dapat dibenarkan.
Namun, seperti dalam ungkapan Inggris, habit is second nature, kebiasaan terus-menerus mencari dalih pembenaran bagi tindakan kejahatan akan menjadi semacam naluri tersendiri, dengan akibat kita kehilangan kesadaran akan nilai kejahatan itu.
Alquran menggambarkan kemungkinan serupa itu, dengan adanya orang yang kejahatannya dihiaskan kepadanya sehingga dia pandang sebagai kebaikan (lihat QS 35: 8).
Keadaan jiwa pribadi semacam itulah yang kiranya dapat disebut sebagai keadaan bangkrut rohani, bangkrut budi pekerti. Apakah bangsa kita melalui orang-orang terkemukanya telah sampai ke stadium kebangkrutan rohani dan budi pekerti? Semoga tidak, dan semoga Tuhan tetap melindungi.
Akan tetapi, bila benar maka tantangan untuk menyelamatkan masa depan bangsa sungguh gawat dan mendesak. Tantangan itu harus dijawab dan harus dipikul beban kewajibannya oleh segenap potensi nasional tanpa terkecuali.
Seperti kata Bung Karno, kita memerlukan "pengikatan bersama semua kekuatan revolusioner bangsa" (sammen bundelling van alle revotionaire krachten van de natie). Kita pun saat ini sangat memerlukan "pengikatan bersama segenap kekuatan reformasi bangsa (sammen bundelling van alle reformatische krochten van de natie).
Karena itu, semua keadaan gawat tersebut merupakan kelanjutan langsung dari rentetan berbagai krisis dan malapetaka nasional, besar ataupun kecil, sepanjang sejarah negara kita, sehingga untuk mewujudkan "pengikatan bersama" itu diperlukan adanya jiwa besar dari setiap kita untuk menutup rentetan panjang krisis bangsa itu dengan secara terbuka hati berekonsiliasi.
Mungkin kita tidak perlu melupakan samasekali semua kesalahan masa lalu agar tidak terulang kembali. Tetapi jelas sekali kita perlu, amat perlu, menutup rasa permusuhan yang diakibatkannya, dengan prinsip "biarlah lewat yang telah lewat, let bygone be bygone, Illa ma gad salafa.
Menarik pelajaran dari pengalaman Afrika Selatan, kita harus berani melantangkan, To forget, No! To forgive, Yes. Dan, cukuplah sudah semua penyimpangan itu sampai di sini, dan setelah itu sama sekali tidak boleh terjadi lagi. Kembali kepada penyimpangan lama akan merupakan kejahatan yang tak terampuni.
Atas dasar platform atau pelataran sammen bundelling dan rekonsiliasi itu, kita bangun kembali bangsa. "Bangunlah jiwanya! Bangunlah badannya! Untuk Indonesia Raya! Maka hendaknya kita kerahkan kekuatan segenap bangsa untuk membangun kembali Indonesia yang berdiri tegak di atas kemampuan sendiri, terhormat, berdaulat, dan berkeadilan sosial untuk seluruh rakyat.

Tidak ada komentar: